Minggu, 27 November 2011

Kontroversi Upaya Kasasi JPU atas Putusan Bebas

 Kontroversi Upaya Hukum Jaksa Atas Putusan Bebas

Ketentuan yang mengatur mengenai upaya hukum kasasi tercantum dalam rumusan Pasal 244 KUHAP. Adapun pasal 24 KUHAP tersebut nenayatakan sebagai berikut:

“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Jika dilihat dari rumusan redaksional Pasal 244 KUHAP tersebut, jelaslah bahwa secara limitatif KUHAP telah menutup kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut. Menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, mengatakan, “... oleh memorie van toelichting bahwa putusan pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh diganggu gugat.

Namun demikian, dalam praktek peradilan pidana akhirnya terjadi penyimpangan yang dimotori oleh pihak eksekutif. Departemen Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut menetapkan, bahwa:

“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 sebagai yurisprudensi yang melandasi keluarnya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, tersebut kemudian menjadi yurisprudensi yang kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung selanjutnya. Dalam  putusan tersebut intinya Mahkamah Agung membagi putusan bebas menjadi dua jenis, yaitu putusan bebas murni dan bebas tidak murni, padahal KUHAP sendiri tidak mengenal hal demikian.

Putusan bebas murni oleh MA dinyatakan tidak termasuk putusan yang dapat dikasasi, sementara untuk putusan bebas yang tidak murni dapat diajukan kasasi. Apa itu putusan bebas murni dan putusan tidak murni dan apa yang melatarbelakangi Majelis hakim tersebut mengakali/merekayasa hal tersebut, sementara KUHAP telah mengaturnya dalam 3 kategori putusan masing-masing putusan bersalah, putusan bebas dan putusan lepas?

Persoalan lain yang muncul adalah kaitannya dengan teori hukum bejenjang stuffenbou theori sebagaimana dikemumakan oleh Hans Kelsen yang pada intinya menyatakan: “suatu Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 jelas bertentangan dengan pasal 244 KUHAP. Sementara itu sebagaimana kita ketahui, yurisprudensi Mahkamah Agung (putusan No. 275 K/Pid/1983 yang menjadi landasan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) bukan sebuah peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, persoalan timbul dari pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak korban suatu tindak pidana amat mudah membangun opini yang menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan perkara tersebut. Kondisi dan situasi seperti ini mudah dan rawan menimbulkan ketidak percayaan terhadap dunia peradilan, khususnya hakim, yang berujung adanya luapan emosi dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan bebas tersebut.

Implikasi adalah timbulnya kesan bahwa putusan pengadilan yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban, sehingga dipandang perlu untuk dicarikan solusi hukum demi tegaknya wibawa putusan yang dilahirkan oleh peradilan pidana, dalam konteks ini terutama demi tegaknya wibawa esensi putusan bebas (vrijspraak) sehingga diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement).

Pada sisi lain persoalan yang muncul, hakim selalu terjebak dalam situasi dilematis manakala dihadapkan pada fakta persidangan yang senyatanya memang harus diputus bebas. Di satu sisi hakim harus menjaga tendensi pihak korban, disisi lain hakim terikat oleh pasal 64 dan pasal 244 KUHAP, sehingga putusan bebas merupakan putusan yang “mahal” dan sangat sulit untuk dikeluarkan. Tidak jarang terdakwa yang tidak terbukti bersalah tetap divonis bersalah dan dihukum pidana (biasanya lamanya pidana disamakan dengan lamanya masa tahanan), dengan alasan “terdakwa selama proses peradilan telah ditahan”. Sungguh suatu peradilan yang sesat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.



Dengan demikian, setujukah Anda dengan Upaya Kasasi Jaksa Penuntut Umum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar