Selasa, 20 Desember 2011

Ignorantia Iuris Nocet

Oleh : Andi Rohandi, S.H.

Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan. 

Peribahasa ini dipakai dalam dunia hukum yang menyatakan bahwa ketidaktahuan seseorang akan hukum dan peraturan, tidak dapat dijadikan alasan pembenar/pemaaf di pengadilan. Inilah yang dikenal dalam ilmu hukum sebagai fiksi hukum. Seseorang dianggap tahu akan hukum dan peraturan perundang-undangan setelah aturan perundangan tersebut disahkan dan diumumkan dalam lembaran negara. Fiksi hukum dimaksudkan agar tidak ada perbuatan seseorang yang tidak dipertanggungjawabkan secara hukum dengan dalih tidak tahu hukumnya. Alangkah celakanya jika orang-orang terbebas dari pertanggungjawaban hukum hanya karena alasan "tidak tahu hukumnya". Akan banyak sekali para penjahat yang tidak dihukum, karena untuk tahu hukum dia harus kuliah di Fakultas hukum dan menjadi Sarjana Hukum, itupun bukan jaminan dia benar-benar tahu hukum.  

Ungkapan "ignoritia iuris nocet" dalam praktek kehidupan sehari-hari benarlah adanya. Tak jarang seseorang menjadi korban kejahatan atau menjadi pelaku kejahatan bukan karena ada niat untuk melakukan, tetapi karena dia tidak mengerti hukum akan tindakan yang sedang dilakukannya. Contoh, sesorang menerima dana investas idari orang lain untuk bidang usaha pelayanan jasa, namun dikarenakan dia melihat bidang usaha perdagangan yang lebih menguntungkan, dia mengubah core business-nya menjadi bidang usaha perdagangan dengan tujuan agar mendapat keuntungan yang lebih besar dan memberikan keuntungan yang lebih pula bagi si pemodal tersebut, tanpa persetujuan si pemodal tersebut. Alhasil, karena sesuatu hal, bukannya untung yang didapat, usahanya malah bangkrut. Akhirnya si Investor melaporkannya ke Polisi, dan jadilah delik penggelapan.

Kisah tadi hanyalah sekelumit dari kejadian-kejadian lainnya. Untuk itu "melek hukum" menjadi harga mati jika kita ingin menjalani hidup ini dengan keamanan dan kedamaian. Untuk melek hukum, tidaklah perlu semuanya kuliah di Fakultas Hukum. Sama halnya untuk hidup sehat, tidaklah perlu semuanya jadi dokter, akan tetapi, berdayakan praktisi hukum/Advokat sebelum bertransaksi, atau sebelum melakukan tindakan-tindakan yang dirasa mempunyai resiko hukum. Adapun pada kenyataanya, para Advokat hanya digunakan jasanya setelah kliennya terjerumus dalam masalah hukum, bukannya sebagai mitra tempat berbagi dan berkonsultasi sebagai upaya pencegahan guna meminimalisasi resiko hukum. Akhirnya dikarenakan masalah telah timbul, para Advokat bagai dokter yang mengobati penyakit. Alih-alih menghemat biaya dengan menghapus biaya konsultasi dalam daftar anggaran bisnisnya, si klien malah harus merogoh kocek lebih dalam karena perkaranya, belum lagi ancaman hukuman badan yang harganya tidak dapat dinilai dengan uang. Untuk itu kepada para Advokat juga, tidak seharusnya membebani klien-kliennya dengan biaya yang tidak sewajarnya dalam memberikan pendapat-pendapat hukumnya, agar masyarakat tidak sungkan meminta pendapat sehingga dapat berorientasi pada kesadaran hukum dengan basis "melek hukum". Bukankah mencegah selalu lebih baik daripada mengobati?  

   

Jumat, 09 Desember 2011

Sejarah Kelam Dibalik Ungkapan "Fiat Justitia Ruat Coelum"




Oleh : Andi Rohandi, S.H.

"Tegakkan Keadilan Meski Langit Runtuh"

Suatu hari Kaisar Alexander Agung kedatangan seorang pelaut, duta dari laut Adriatik. Sang kaisar iseng dan bertanya kepadanya: apa yang paling kau takuti di dunia ini? si Pelaut menjawab: saya tidak dapat membayangkan jika langit runtuh dan bintang-bintang berjatuhan menimpa tubuh kita. Alexander ternganga, sama sekali tidak menyangka akan jawaban si pelaut. Selama ini ia berharap dirinyalah yang paling ditakuti di dunia ini. Ternyata si pelaut membukakan pikirannya, ternyata yang ditakuti manusia di dunia pada jaman itu adalah jika langit runtuh. Hal ini dikarenakan pada masa itu manusia percaya bahwa bumi berada diatas pundak Atlas dan jika Atlas merasa kelelahan, atau Atlas sakit, maka bumi akan tergelincir dari pundaknya, yang kemudian membentur langit. Itu artinya, langit akan runtuh dan bintang-bintang berjatuhan menimpa manusia.  Sejak saat itu, kejadian antara Alexander dan si pelaut menyebar hingga seantero wilayah kekuasaan Romawi sehingga orang-orang Romawi sering berkata: "Quild si nuc caelum ruat?" (Bagaimana jika sekarang langit akan runtuh?)

Selanjutnya kita tinggalkan kisah singkat Sang Kaisar dan sang Pelaut diatas. Perumpamaan langit runtuh sebagai sesuatu hal yang paling ditakuti orang sering dijadikan perumpamaan untuk menandai kondisi paling buruk di dunia. Hal ini berlangsung selama berabad-abad, hingga suatu saat alkisah seorang gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, pada tahun 43 SM, berpidato dihadapan rakyatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Seneca dalam naskah drama yang berjudul "Piso's Justice", pada bagian sub judul "De Ira" (kemarahan), mengisahkan Piso pada suatu hari memberikan ijin kepada  3 orang serdadu untuk mengambil cuti untuk mengunjungi keluarganya, dengan perintah setelah masa cuti si serdadu tersebut berakhir, mereka harus menghadap dirinya guna melapor kedatangan mereka. Setelah masa cuti berakhir, yang datang menghadap hanya satu orang. Kemudian Serdadu tersebut ditanya kemana kedua orang rekannya tersebut yang juga diperintahkan untuk menghadap dan melapor kepada dirinya. Serdadu tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan Piso. Akhirnya Piso naik pitam dan langsung menggelar sidang atas serdadu tersebut. Sidang memutuskan bahwa serdadu tersebut dianggap telah membunuh kedua orang rekan kerjanya dan dihukum dengan hukuman mati. Ketika si serdadu hendak dieksekusi mati, tiba-tiba datanglah kedua orang rekannya yang diduga telah meninggal tadi. Si Algojo pun lantas menunda eksekusi dan menghadap Piso untuk melaporkan hal tersebut. Akhirnya Piso naik mimbar dan berpidato. Dalam pidatonya dengan lantang Ia mengatakan hukum telah ditetapkan dan  "Fiat Justitia Ruat Coelum". "Keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh!! Akhirnya Serdadu tetap dihukum mati, si algojo dihukum mati karena menunda eksekusi serta kedua orang serdadu yang diduga mati tersebut juga dihukum mati karena keterlambatannya menghadap, menyebabkan rekannya dihukum mati. Sejak saat itu ungkapan "Fiat Justitia Ruat Coelum" melegenda. Dalam perkembangannya, ungkapan Piso tersebut biasa dijadikan palsafah bagi para pejabat tiran guna melakukan kesewenang-wenangan asalkan "hukumnya telah ditetapkan". Jadi makna ungkapan "Fiat Justitia Ruat Coelum" menurut Piso adalah "apapun yang terjadi, suatu keputusan hukum tetap harus dilaksanakan !!! Tak peduli apakah hukum tersebut benar atau salah, karena yang dinamakan keadilan adalah apa yang telah diputuskan oleh Penguasa melalui persidangan. Hal ini demi kewibawaan hukum dan pemerintahan. Sebegitu populernya ungkapan ini sampai Kaisar Kerajaan Roma, Ferdinand I, mencontek dengan membuat semboyan kerajaann, “Fiat justitia et pereat mundus” (tegakkan keadilan sekalipun semua penjahat di dunia musnah). 
 
Berabad-abad berlalu, ungkapan ini pun mulai tenggelam dan dilupakan, sampai akhirnya pada tahun 1601, William Watson, sastrawan Inggris pertama kali memunculkan ungkapan ini di era modern. Dalam salah satu karyanya yang berjudul, “Ten Quodlibetical Quotations Concerning Religion and State”menyatakan “Anda melanggar istilah yang lazim dalam perundangan, yaitu Fiat justitia et ruant coeli”. selanjutnya beberapa penyair Inggris lainnya juga menggunakan ungkapan Fiat Justitia Ruat Coelum dalam karya-karyanya. Para penyair tersebut diantaranya: William Prynne dalam buku “Fresh Discovery of Prodigious Wandering New-Blazing Stars” (1646) dan Nathaniel Ward (“Simple Cobbler of Agawam).

Sampailah pada saat sekarang, Ironis memang, dengan sejarah kelam terciptanya ungkapan "Fiat Justitia Ruat Coelum", para penegak hukum justru malah bangga mencantumkan dan mengucapkan Fiat Justitia Ruat Coelum. Hakim sering kali mencantumkan ungkapan ini dalam putusannya. Lord Masnfield, dalam putusan perkara Somersett, Juni 1772 tentang penghapusan perbudakan di Inggris, memasukkan kalimat itu dalam putusannya. Di Amerika Serikat, “Fiat justitia” tertulis di bagian bawah lukisan Ketua Hakim Agung, John Marshall.  Di Indonesia pada waktu sekitar tahun 1950, ada hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hendak menampar seorang pengacara yang menawarkan sejumlah uang guna memenangkan perkaranya. Pengacara itu dikejar sampai ke jalanan Gajah Mada, Jakarta. Hakim tersebut mencaci maki Pengacara dan mengatakan : "Fiat Justitia Ruat Coelum". Bahkan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggunakan ungkapan "Fiat Justitia Ruat Coelum" sebagai semboyan organisasi dan tercantum dengan jelas dalam lambangya.

Apakah selama ini kita keliru memuja dan mengelukan ungkapan dari mulut Piso, yang nyata telah secara kejam menghukum mati 3 orang serdadu Romawi yang tidak seharusnya mati? Apakah selama ini kita keliru karena mengagungkan ungkapan yang digunakan para tirani dalam melakukan kesewenang-wenangan menghukum orang-orang tak bersalah demi kekuasaan dengan syarat: "Hukuman Telah Ditetapkan"? Apakah selama ini kita hanya latah meniru orang-orang barat yang sesat? Hal ini rupanya perlu perenungan dan pengkajian yang lebih mendalam, tetapi yang jelas ajaran Agama pada umumnya mendeskripsikan runtuhnya langit sebagai suatu pertanda kiamat, dimana tidak ada satu manusiapun yang dapat membela dirinya, apalagi menegakkan hukum manusia itu sendiri, karena yang berlaku pada saat itu adalah hukum Tuhan, dimana semua manusia tunduk dihadapan-Nya. 

Kamis, 08 Desember 2011

CORRUPTISSIMA REPUBLIKA PLURIMAE LEGES



 oleh : Andi Rohandi, S.H.

"Semakin korup sebuah republik, semakin banyak undang-undang",

Sampai disusunnya tulisan ini, penulis belum menemukan referensi perihal asal muasal ungkapan Latin tersebut, namun hal yang terpenting, bukanlah mengenai asal-muasalnya, melainkan apa arti harfiah ungkapan ini dan maknanya serta bagaimana jika dihubungkan dengan kondisi negara kita dewasa ini. Ungkapan bahasa Latin ini semakin menarik untuk dicermati belakangan ini, terutama jika dihubungkan dengan negara kita Indonesia yang semakin hari semakin kaya akan undang-undang dan peraturan perundangan lainnya baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Pluralisme peraturan tersebut, tak ayal sedikit banyaknya menimbulkan banyak kebingungan baik di kalangan rakyat maupun kalangan penyelenggaraan negara itu sendiri. Akibatnya semakin banyak tafsir dan semakin banyak friksi di kalangan penyelenggara negara dan rakyatnya. Alhasil, kepastian hukum pun seolah semakin jauh meninggalkan negeri ini.

Dalam perkembangannya, ungkapan "corupptissima republika plurimae leges" semakin tampak kebenarannya, khususnya di Indonesia. Korelasi antara pluralisme Undang-undang dan korupsi mulai terkuak keberadaannya. Hal ini ditandai dengan maraknya "jual beli pasal" rancangan Peraturan Perundang-undangan baik oleh Anggota Legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah, dengan pihak-pihak pemodal yang memiliki "kepentingan ekonomis tertentu" atas rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, sebuah undang-undang "tanpa pesanan" ditenggarai dengan banyaknya celah-celah yang rawan gugatan pembatalan, filosofis yang tidak karuan serta konsideran yang asal-asalan. Peraturan yang demikian sepintas lalu hanya dilihat sebagai aturan yang tidak applicable atau sekedar "non sense rule" belaka. Lain halnya dengan undang-undang pesanan yang selalu dibuat dengan tatanan yang sesempurna mungkin tapi punya ciri khas yaitu berorientasi pada kepentingan kaum tertentu yaitu si pemesan. Contoh peraturan-peraturan yang menindas dan pro kapitalis seperti peraturan tentang Penanaman Modal Asing, Peraturan Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Seputar Pengelolaan Migas, berbagai Kontrak Karya Pengelolaan SDA baik Sektor Migas dan sektor tambang lainnya dll.

Oleh karena itu, dimana ada penyusunan peraturan, disitu praktek korupsi berjalan. Jadi semakin getol penyusun undang-undang bersidang membentuk undang-undang, perhatikan saja beberapa waktu kemudian ada saja perkara suap yang terkuak selama masa penyusunannya. Inilah yang mengakibatkan peraturan tinggal-lah peraturan. Tak ada dampak dan manfaat riil baik bagi rakyat maupun bagi perbaikan sistem sosial politik yang ada. Peraturan demi peraturan yang tercipta hanyalah sebagai sarana untuk melegitimasi perbuatan-perbuatan dan kepentingan-kepentingan pejabat pemerintah dan para pemilik modal. Tak banyak mendatangkan manfaat bagi kemakmuran rakyat. 

Faktanya, negeri dengan Sumber Daya Alam yang sangat kaya raya ini dihuni oleh manusia-manusia miskin yang hidupnya terbeleggu dengan banyaknya peraturan yang datang dan silih berganti. Banyaknya Undang-undang yang seharusanya menjadikan negeri ini semakin tertata dan teratur, rakyatnya semakin makmur bukannya sebaliknya, tatanan sosial semakin amburadul akibat bertabraknanya ketentuan dalam undang-undang yang satu dengan yang lainnya. Penyebabnya adalah satu: undang-undang dan peraturan yang lainnya disusun dengan mental dan semangat korupsi. Tak salah apabila sebagian masyarakat berceloteh: "legislatif tak ubahnya pasar tempat jual beli aturan perundang-undangan". Dengan demikian, jika ingin mengetahui sekorup apakah republik ini? Silahkan hitung berapa banyak undang-undang di republik ini.
 

Cogito Ergo Sum



oleh: Andi Rohandi, S.H.

Cogito ergo sum ungkapan ini dikemukakan oleh Rene Descartes, seorang filsuf terkenal dari Prancis. Ungkapan singkat ini menitikberatkan pada kekuatan berfikir manusia sebagai suatu kunci eksistensinya di dunia. Secara harfiah ungkapan ini berarti "aku berpikir maka aku ada". Tidak adak kepastian di dunia, kecuali keberadaan diri kita sendiri. Siapa diri kita, apa jenis kelamin kita serta kenapa kita terlahir seperti apa yang kita lihat dalam cermin dihadapan kita. Keberadaan seorang manusia menurut Descartes dibuktikan dengan dengan fakta bahwa dirinya mampu untuk berfikir sendiri.
  
Tafsir terhadap ungkapan "cogito ergo sum" bisa mengandung makna bahwa Descartes memiliki kegundahan fikiran sehingga mendorongnya untuk melakukan upaya perenungan mencari kebenaran dengan cara memulai meragukan segala sesuatu yang ditemukannya di dunia, bahkan pada suatu titik dimana ia meragukan eksistensi dirinya sendiri di dunia. Dengan cara meragukan semua hal tersebut, ia berfikir telah berhasil membersihkan dirinya dari prasangka-prasangka yang dapat menuntunnya ke jalan yang salah, karena ia meyakini tidak semua pemikiran membawanya pada suatu kebenaran. Sampai akhirnya Descartes sadar bahwa suatu keniscayaan adalah, kemanapun arah fikiran membawanya, ia tetaplah berfikir. Inilah kunci eksistensi manusia itu sendiri. Sesuatu yang tidak mungkin salah, apapun kekuatan yang membawa fikirannya, tidaklah mungkin kekuatan tersebut mengatakan "ketika berfikir, sayalah yang berfikir" salah. namun sebaliknya, ketika aku berfikir, maka aku ada.

Yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah kemampuannya untuk berfikir. Dengan berfikir, manusia dapat mengatasi semua kesulitannya di dunia ini. Dengan fikirannya manusia dapat mempertahankan eksistensinya dan terhindar dari kepunahan. Dengan berfikir manusia dapat mengatasi bagaimana caranya terhindar dari bencana. Dengan fikirannya pula kehidupan manusia terasa lebih mudah untuk dijalani daripada mahluk yang lainnya, serta dengan fikirannya manusia dapat mewarnai kehidupannya. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Descartes tadi, tidak selamanya fikiran manusia mengarah pada suatu kebenaran. Untuk itu, percayalah bahwa ada suatu kekuatan yang membawa fikiran manusia kearah yang benar atau yang salah. Jadi tidak ada yang salah dengan buah fikiran. Karena itu adalah tanda eksistensi keberadaan orang tersebut. Apa yang menjadi kekuatan yang telah membawa arah fikiran itu sendiri? Hal tersebut dapat ditemukan jawabannya jika kita mampu untuk berfikir!. Mustahil seorang manusia menemukan arti kebenaran maupun kesalahan, jika ia tidak berfikir. Atau mustahil kita menemukan kekuatan dalam kehidupan jika tidak berfikir. Serta mustahil orang dapat berfikir, jika dirinya tidak menemukan kebebasannya. Jika dia dihinggapi rasa ketakutan, ketidakpercayaan akan kehidupan serta kehilangan kemerdekaannya untuk mengungkapkan fikiran, maka pada hakikatnya dia bukan manusia yang mempunyai kesempurnaan eksistensi di dunia ini.