Kamis, 08 Desember 2011

CORRUPTISSIMA REPUBLIKA PLURIMAE LEGES



 oleh : Andi Rohandi, S.H.

"Semakin korup sebuah republik, semakin banyak undang-undang",

Sampai disusunnya tulisan ini, penulis belum menemukan referensi perihal asal muasal ungkapan Latin tersebut, namun hal yang terpenting, bukanlah mengenai asal-muasalnya, melainkan apa arti harfiah ungkapan ini dan maknanya serta bagaimana jika dihubungkan dengan kondisi negara kita dewasa ini. Ungkapan bahasa Latin ini semakin menarik untuk dicermati belakangan ini, terutama jika dihubungkan dengan negara kita Indonesia yang semakin hari semakin kaya akan undang-undang dan peraturan perundangan lainnya baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Pluralisme peraturan tersebut, tak ayal sedikit banyaknya menimbulkan banyak kebingungan baik di kalangan rakyat maupun kalangan penyelenggaraan negara itu sendiri. Akibatnya semakin banyak tafsir dan semakin banyak friksi di kalangan penyelenggara negara dan rakyatnya. Alhasil, kepastian hukum pun seolah semakin jauh meninggalkan negeri ini.

Dalam perkembangannya, ungkapan "corupptissima republika plurimae leges" semakin tampak kebenarannya, khususnya di Indonesia. Korelasi antara pluralisme Undang-undang dan korupsi mulai terkuak keberadaannya. Hal ini ditandai dengan maraknya "jual beli pasal" rancangan Peraturan Perundang-undangan baik oleh Anggota Legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah, dengan pihak-pihak pemodal yang memiliki "kepentingan ekonomis tertentu" atas rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, sebuah undang-undang "tanpa pesanan" ditenggarai dengan banyaknya celah-celah yang rawan gugatan pembatalan, filosofis yang tidak karuan serta konsideran yang asal-asalan. Peraturan yang demikian sepintas lalu hanya dilihat sebagai aturan yang tidak applicable atau sekedar "non sense rule" belaka. Lain halnya dengan undang-undang pesanan yang selalu dibuat dengan tatanan yang sesempurna mungkin tapi punya ciri khas yaitu berorientasi pada kepentingan kaum tertentu yaitu si pemesan. Contoh peraturan-peraturan yang menindas dan pro kapitalis seperti peraturan tentang Penanaman Modal Asing, Peraturan Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Seputar Pengelolaan Migas, berbagai Kontrak Karya Pengelolaan SDA baik Sektor Migas dan sektor tambang lainnya dll.

Oleh karena itu, dimana ada penyusunan peraturan, disitu praktek korupsi berjalan. Jadi semakin getol penyusun undang-undang bersidang membentuk undang-undang, perhatikan saja beberapa waktu kemudian ada saja perkara suap yang terkuak selama masa penyusunannya. Inilah yang mengakibatkan peraturan tinggal-lah peraturan. Tak ada dampak dan manfaat riil baik bagi rakyat maupun bagi perbaikan sistem sosial politik yang ada. Peraturan demi peraturan yang tercipta hanyalah sebagai sarana untuk melegitimasi perbuatan-perbuatan dan kepentingan-kepentingan pejabat pemerintah dan para pemilik modal. Tak banyak mendatangkan manfaat bagi kemakmuran rakyat. 

Faktanya, negeri dengan Sumber Daya Alam yang sangat kaya raya ini dihuni oleh manusia-manusia miskin yang hidupnya terbeleggu dengan banyaknya peraturan yang datang dan silih berganti. Banyaknya Undang-undang yang seharusanya menjadikan negeri ini semakin tertata dan teratur, rakyatnya semakin makmur bukannya sebaliknya, tatanan sosial semakin amburadul akibat bertabraknanya ketentuan dalam undang-undang yang satu dengan yang lainnya. Penyebabnya adalah satu: undang-undang dan peraturan yang lainnya disusun dengan mental dan semangat korupsi. Tak salah apabila sebagian masyarakat berceloteh: "legislatif tak ubahnya pasar tempat jual beli aturan perundang-undangan". Dengan demikian, jika ingin mengetahui sekorup apakah republik ini? Silahkan hitung berapa banyak undang-undang di republik ini.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar