Selasa, 29 November 2011

Honorarium Jasa Hukum Advokat

Ketentuan mengenai Honorarium Advokat diatur dalam pasal  21 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan:

Pasal 21

(1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.

(2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

Apa yang dimaksud dengan pembayaran “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien. Dengan demikian, Undang-undang tidak mengatur mengenai standar berapa dan seperti apa honorarium Advokat. namun demikian, pasal 4 huruf e Kode etik Advokat Indonesia memberi sedikit memberi batasan mengenai biaya-biaya tersebut. Adapun pasal pasal 4 huruf e menyatakan:

"Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu"
Biaya-biaya yang tidak perlu tersebut dalam praktek misalnya biaya undertable (suap), entertain bagi para penegak hukum lainnya, ongkos liburan Advokat dan biaya-biaya lainnya yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan serta biaya yang tidak ada hubungannya dengan penanganan perkara.

Biaya jasa Advokat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Advokat dengan pengguna jasa Advokat/ klien. Dalam praktek mengenai besarnya jasa Advokat didasarkan kepada beberapa hal, antara lain :
  1. Popularitas dan atau senioritas Advokat .
  2. Nilai objek perkara  yang akan ditangani.
  3. Tingkat kesulitan dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
  4. Status sosial atau kemampuan ekonomi klien.
  5. Lokasi perkara yang ditangani.
Jasa hukum tersebut dalam praktek setidaknya dibayarkan dengan ada 5 (lima) kriteria dan metode pembayaranyaitu:

1. Pembayaran borongan/lump sum.

Pembayaran Jasa Hukum Advokat secara total ditentukan besarnya hingga perkara tersebut tuntas ditangani, di luar success fee. Kalah atau menang dalam menangani suatu perkara, si Advokat tetap menerima fee sebesar yang telah diperjanjikan. Biasanya pembayaran dilakukan dalam berbagai termin. Pada saat penandatangan Surat Kuasa biasanya klien harus melakukan pembayaran sekitar 30% hingga 50% dari total pembayaran. Selanjutnya pembayaran akan disesuaikan dengan porsi pekerjaan yang sudah dilakukan. Pada yang umunya pembayaran selanjutnya dilakukan antara 2 (dua) hingga 4 (empat) termin. Menjelang akhir penanganan perkara, klien harus membayar 5% hingga 10% dari sisa pembayaran yang telah disepakati. 

Apabila perkara berhasil diselesaikan dan dimenangkan sesuai dengan harapan klien, maka dengan  diperjanjikan terlebih dahulu, Advokat berhak untuk mendapatkan uang kemenangan (success fee) selain biaya jasa pengacaranya tersebut. 

2. Pembayaran berdasarkan porsi (Contingent Fees)

Sistem pembayaran ini, Advokat  hanya dapat menerima honorarium dari bagian dari hasil yang diperoleh dari klien yang dimenangkan dalam suatu sengketa hukum. Artinya Advokat hanya akan menerima bagian jika ia berhasil memenangkan perkara tersebut. Jika tidak berhasil, maka dia tidak akan mendapat honorarium atau hanya akan menerima penggantian untuk biaya operasianal yang telah dikeluarkannya.

Pembayaran berdasarkan porsi tidak lazim dilakukan, kecuali jia Advokat menangani klien yang kurang mampu membiayai perkaranya. Biasanya Advokat akan mendapat poris honorarium yang agak besar yaitu 40% - 70% dari total objek perkara. pembayaran model seperti ini biasanya diterapkan dalam perkara Littigasi, dan ADR.

3. Pembayaran perjam /Hourly Rate

Pembayaran seperti ini biasanya dilakukan terbatas pada jasa konsultasi dan legal drafting. Setiap waktu yang digunakan Advokat untuk kepentingan kliennya termasuk dalam jasa telepon serta dan hal-hal lain seperti drafting surat-surat hukum termasuk dalam perhitungan “Jam“ jasa yang harus dibayarkan. 

Jadi jika Advokat menyatakan menerapkan sistem ini, maka calon Klien seyogyanya menanyakan berapa tarif per jam si Pengacara dan waktu minimum pemakaian jasanya. Biasanya Advokat menggunakan waktu minimum untuk pemakaian jasanya selama 15 (lima belas) menit. Di kota-kota besar biasanya tarif per jamnya ditentukan dengan standard US$, yang saat ini di Jakarta rata-rata berkisar antara US$ 250 hingga US$ 600 per jam untuk seorang Advokat/Pengacara senior dan terkenal, dan antara US$ 75 hingga US$ 250 per jam untuk seorang Pengacara junior dan menengah. 

Metode ini tidak cocok untuk perkara litigasi atau penanganan perkara yang membutuhkan waktu yang lama.

4. Pembayaran tetap (Fixed Rate);

Pembayaran model ini biasanya diterapkan dalam  menangani suatu tugas atau proyek dan tidak sesuai dengan pelayanan jasa dalam lingkup litigasi. Contohnya suatu perusahaan akan melakukan legal audit dalamrangka rencana akuisisi perusahaan lain.
 
5.Pembayaran berkala (Retainer) 

Pembayaran berkala dalam bahasa kantor kami sering disebut sebagai pembayaran "langganan jasa hukum". Advokat menerima pembayaran per triwulan, semester atau tahunan atas jasa hukum berupa konsultasi hukum.  Sistem ini kami anggap merupakan pembayaran yang menguntungkan bagi klien, lebih mudah, efektif dan effisien. Kantor kami biasanya menerapkan sistem ini terhadap Perusahaan yang membutuhkan jasa hukum secara berkala.

Jika Advokat harus menangani persoalan hukum yang harus diselesaikan melalui persidangan, maka ada beberapa komponen biaya lainnya yang harus dipenuhi klien. komponen biaya lain tersebut biasanya sebagai berikut:

1.biaya jasa berperkara.
2.biaya transport.
3.biaya akomodasi.
4.biaya perkara (panjar perkara, legalisasi bukti-bukti dll).
6.biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.

Demikian gambaran singkat mengenai deskripsi biaya jasa hukum seorang Advokat. Ingat, keunikan jasa hukum dibandingkan dengan jasa lainnya adalah didasarkan pada perkenalan, kedekatan dan kepercayaan/trust antara Advokat dengan kliennya. Semoga deskripsi singkat ini dapat membantu Anda yang akan menggunakan jasa hukum Advokat.

Salam. 

Senin, 28 November 2011

Tips Singkat Bersidang Sendiri dalam Sidang Perdata (bagian 1)

Bagi masyarakat umum beracara di Pengadilan merupakan hal yang sangat menyeramkan. Betapa tidak,  karena dalam persidangan-lah hak Anda ditentukan. Namun demikian, jika Anda tiba-tiba terpaksa harus bersidang dalam Pengadilan, terdapat hal-hal yang perlu dibekali. Hal-hal tersebut saya uraikan dalam tips singkat sebagai berikut:

1. Tanamkan dalam pikiran Anda bahwa para pihak dalam persidangan adalah manusia biasa yang sama seperti Anda. 

Hal ini penting untuk mengusir pikiran negatif tentang persidangan. Yakinlah, hakim sekalipun akan mengalami perasaan yang sama seperti Anda, jika Ia berada dalam posisi seperti Anda sekarang.

2. Pahami kedudukan hukum Anda dan rangkaian acara persidangan;

Maksudnya jika Anda sebagai Penggugat maka pahami apa-apa saja yang harus dipersiapkan sebagai penggugat, begitu pula jika Anda jadi Tergugat. hal-hal yang harus dipersiapkan oleh Anda dapat tebayang dalam rangkaian acara dalam persidangan Perdata sebagai berikut:

a. sidang pertama : 

Pembacaan gugatan oleh Penggugat, biasanya dalam praktek gugatan tidak dibacakan dan dianggap dibacakan. Salinan gugatan toh sudah diterima oleh Tergugat bersama dengan relas panggilan sidang. Selanjutnya hakim akan menanyakan kepada para pihak apakah akan menunjuk mediator sendiri, jika tidak maka Hakim akan menunjuk Mediator untuk melakukan mediasi. 

b. sidang Mediasi 

Sidang Mediasi dipimpin oleh seorang Mediator yang telah ditujnjuk tadi. Mediator bertugas menjembatani keinginan para pihak, sehingga diperoleh suatu solusi yang saling menguntungkan, yang tidak saling merugikan satu pihak dan pihak lainnya (win-win sollution) daripada harus terus berperkara . Jika para pihak sepakat untuk mengambil solusi tersebut, maka para pihak akan dibuatkan draft perjanjian perdamaian dan Mediator akan membuat risalah hasil mediasi dan para pihak akan melaporkannya kepada Majelis Hakim kemudian Majelis hakim dalam sidang selanjutnya akan memutus dengan putusan "menghukum para pihak untuk mentaati isi perjanjian perdamaian", berarti sidang selesai. Jika dalam kurun waktu 40 hari Mediasi gagal, maka berkas akan dikembalikan kepada Majelis Hakim dengan risalah mediasi gagal.Artinya persidangan berlanjut pada pemeriksaan pokok perkara.

c. sidang kedua

Pada sidang kedua, Hakim akan menyetakan Mediasi gagal, kemudian pihak Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan Jawaban gugatan. Bila Tergugat pada hari itu sudah siap dengan jawaban tertulis, maka dapat mengajukan langsung dalam persidangan itu juga. dalam praktek biasanya Jawaban tertulis tidak dibacakan, tapi dianggap dibacakan dan hakim memberi kesempatan kepada penggugat untuk mengajukan replik pada sidang selanjutnya, biasanya 1 minggu kemudian. Salinan jawaban tertulis tersebut diberikan tergugat kepada pihak penggugat untuk ditanggapi. apabila tergugat belum siap dengan Jawabannya, maka biasanya hakim memberi kesempatan selama 1 minggu kepada tergugat untuk menyiapkan jawaban tertulis.

d. sidang ketiga

Acara sidang pembacaan dan penyerahan replik dari penggugat dalam hal Tergugat telah menyerahkan jawaban pada sidang yang lalu. Selanjutnya apabila Tergugat belum menyerahkan jawaban pada sidang yang lalu maka acaranya pembacaan dan penyerahan jawaban dari Tergugat.

e. sidang keempat

Acara sidang pembacaan dan penyerahan duplik dari tergugat dalam hal pengugat telah menyerahkan replik pada sidang yang lalu. Selanjutnya apabila penggugat belum menyerahkan replik pada sidang yang lalu maka acaranya pembacaan dan penyerahan replik dari penggugat;

f. sidang kelima

Acara sidang pembuktian dari penggugat dalam hal tergugat telah menyerahkan duplik pada sidang yang lalu. Selanjutnya apabila tergugat belum menyerahkan duplik pada sidang yang lalu maka acaranya pembacaan dan penyerahan duplik dari tergugat;

g. sidang keenam

Acara sidang pembuktian dari tergugat dalam hal penggugat telah lengkap melakukan pembuktian pada sidang yang lalu. Selanjutnya apabila pembuktian  pada sidang yang lalu maka acaranya pembuktian dari Penggugat;

h. sidang ketujuh 

Acara sidang pembuktian dari tergugat dalam hal penggugat telah lengkap melakukan pembuktian pada sidang yang lalu. Selanjutnya apabila pembuktian  pada sidang yang lalu maka acaranya pembuktian dari Penggugat;

adapun tahapan pembuktian sebagai berikut:
- penyerahan alat bukti surat: 

serahkan alat bukti berupa fotokopi surat yang telah dibubuhi materai 6000 dan dilegalisir di kantor pos. Jangan lupa bawa surat aslinya untuk kemudian dicocokan oleh hakim  dalam persidangan;

- pemeriksaan saksi 

Hadirkan minimal 2 orang saksi yang melihat dan menyaksikan pokok hal yang diperkarakan guna menguatkan dalil gugatan atau dalil jawaban. Diusahakan saksi-saksi tersebut tidak ada hubungan Keluarga dan hubungan kerja dengan Ppenggugat maupun tergugat, atau pejabat yang karena Undang-undang atau kehormatannya wajib untuk merahasiakan keterangannya. 

i. sidang kedelapan

Acara sidang penyerahan kesimpulan akhir dari para pihak. 

j. sidang kesepuluh
Pembacaan putusan Hakim. inilah muara dari proses persidangan.

3. pelajari beberapa aturan perundang-undangan terkait dengan perkara;

Setelah mengetahui rangkaian acara persidangan, pelajari beberapa peraturan yang terkait dengan perkara yang dipersengketakan. Apabila sempat, sekedar bekal pengetahuan, baca beberapa artikel hukum atau literatur hukum.
4. persiapkan beberapa alat bukti surat dan saksi-saksi yang akan dihadirkan.

Setelah mengetahui rangkaian persidangan, langkah selanjutnya siapkan alat bukti surat, pastikan asli surat tersebut sudah ada di tangan kita. Selanjutnya persiapkan para saksi dan pastikan saksi tersebut mengetahui hal yang sedang dipersengketakan serta pastikan saksi bersedia hadir dalam persidangan agar tidak kesulitan pada waktu acara pembuktian.
5. Drafting/susun draft surat-surat sebagaimana akan diajukan dalam persidangan.

Dalam hal membuat surat-surat, gunakan bahasa yang baku, sederhana, efektif dan effisien dan diusahakan sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Demikian rangkaian tips bersidang dalam persidangan perdata, disusun dengan sangat sederhana. Tips ini tentunya ditujukan bagi masyarakat umum yang "terpaksa harus bersidang sendiri" di Pengadilan. Intinya, jangan takut dengan Pengadilan, hadapi dengan penuh keberanian, karena menghindar dari panggilan Pengadilan akan merugikan Anda sendiri.


Salam,

 

Hati-hati Bahaya Pasal Karet KUHP



Pasal 335 KUHP

(1)    Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus      rupiah:

1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

2     Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

(2)    Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Pasal 21 KUHAP

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.


(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.


(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.


(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Perhatikan tulisan cetak tebal pada pasal 335  ayat 1 sub 1 KUHP dan pasal 21 ayat (4) huruf b diatas!!!

Kesimpulannya semua perlakuan yang tidak menyenangkan dapat diadukan ke pihak kepolisian, apabila dirasa perlu penyidik polisi dapat melakukan penahanan terhadap tersangka. apa saja yang dimaksud dengan kategori perlakuan tidak menyenangkan? Jawabannya segala perbuatan yang tidak diterima oleh pengadu atau yang dirasa tidak menyenangkan hatinya. Disinilah letak kesalahan pasal 335 ayat 1 KUHP dan kelemahan pasal 21 KUHAP. Seharusnya perbuatan tidak menyenangkan diatur dalam ayat terpisah sehingga ketentuan pasal 21 KUHAP tidak menyatakan Perbuatan tidak menyenangkan dalam kategori kejahatan yang dapat ditahan. Implementasinya sangat berbahaya, dimana pasal ini sering dipakai Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum sebagai pasal terakhir guna menjerat perbuatan pelaku. Coba bayangkan, jika segala perbuatan asal dirasa tidak menyenangkan orang lain pelakunya dapat ditahan? berapa banyak orang dapat ditahan mungkin karena hal-hal yang spele asalkan "tidak menyenangkan" orang lain. 

Dengan demikian, Blogger, berhati-hati dalam bertutur kata, dan berprilaku dalam pergaulan sehari-hari adalah cara terbaik guna terhindar dari tindak pidana. semoga bermanfaat. 







Minggu, 27 November 2011

Kontroversi Upaya Kasasi JPU atas Putusan Bebas

 Kontroversi Upaya Hukum Jaksa Atas Putusan Bebas

Ketentuan yang mengatur mengenai upaya hukum kasasi tercantum dalam rumusan Pasal 244 KUHAP. Adapun pasal 24 KUHAP tersebut nenayatakan sebagai berikut:

“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Jika dilihat dari rumusan redaksional Pasal 244 KUHAP tersebut, jelaslah bahwa secara limitatif KUHAP telah menutup kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut. Menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, mengatakan, “... oleh memorie van toelichting bahwa putusan pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh diganggu gugat.

Namun demikian, dalam praktek peradilan pidana akhirnya terjadi penyimpangan yang dimotori oleh pihak eksekutif. Departemen Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut menetapkan, bahwa:

“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 sebagai yurisprudensi yang melandasi keluarnya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, tersebut kemudian menjadi yurisprudensi yang kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung selanjutnya. Dalam  putusan tersebut intinya Mahkamah Agung membagi putusan bebas menjadi dua jenis, yaitu putusan bebas murni dan bebas tidak murni, padahal KUHAP sendiri tidak mengenal hal demikian.

Putusan bebas murni oleh MA dinyatakan tidak termasuk putusan yang dapat dikasasi, sementara untuk putusan bebas yang tidak murni dapat diajukan kasasi. Apa itu putusan bebas murni dan putusan tidak murni dan apa yang melatarbelakangi Majelis hakim tersebut mengakali/merekayasa hal tersebut, sementara KUHAP telah mengaturnya dalam 3 kategori putusan masing-masing putusan bersalah, putusan bebas dan putusan lepas?

Persoalan lain yang muncul adalah kaitannya dengan teori hukum bejenjang stuffenbou theori sebagaimana dikemumakan oleh Hans Kelsen yang pada intinya menyatakan: “suatu Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 jelas bertentangan dengan pasal 244 KUHAP. Sementara itu sebagaimana kita ketahui, yurisprudensi Mahkamah Agung (putusan No. 275 K/Pid/1983 yang menjadi landasan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) bukan sebuah peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, persoalan timbul dari pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak korban suatu tindak pidana amat mudah membangun opini yang menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan perkara tersebut. Kondisi dan situasi seperti ini mudah dan rawan menimbulkan ketidak percayaan terhadap dunia peradilan, khususnya hakim, yang berujung adanya luapan emosi dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan bebas tersebut.

Implikasi adalah timbulnya kesan bahwa putusan pengadilan yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban, sehingga dipandang perlu untuk dicarikan solusi hukum demi tegaknya wibawa putusan yang dilahirkan oleh peradilan pidana, dalam konteks ini terutama demi tegaknya wibawa esensi putusan bebas (vrijspraak) sehingga diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement).

Pada sisi lain persoalan yang muncul, hakim selalu terjebak dalam situasi dilematis manakala dihadapkan pada fakta persidangan yang senyatanya memang harus diputus bebas. Di satu sisi hakim harus menjaga tendensi pihak korban, disisi lain hakim terikat oleh pasal 64 dan pasal 244 KUHAP, sehingga putusan bebas merupakan putusan yang “mahal” dan sangat sulit untuk dikeluarkan. Tidak jarang terdakwa yang tidak terbukti bersalah tetap divonis bersalah dan dihukum pidana (biasanya lamanya pidana disamakan dengan lamanya masa tahanan), dengan alasan “terdakwa selama proses peradilan telah ditahan”. Sungguh suatu peradilan yang sesat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.



Dengan demikian, setujukah Anda dengan Upaya Kasasi Jaksa Penuntut Umum?

Posting Pertama Saya

Hallo Blogger, ini merupakan posting pertama saya. Blogg ini rencananya akan saya gunakan untuk mengisi catatan-catatan saya, buah fikiran serta informasi-informasi seputar dunia hukum dan kepengacaraan di Indonesia. Bagi Blogger yang ingin berpartisipasi dalam menyumbangkan fikirannya atau sekedar berkonsultasi hukum saya tunggu partisipasinya. Salam